RSS

Pages

Kabupaten Ponorogo





Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini terletak pada koordinat 111° 17’ - 111° 52’ Bujur Timur dan 7° 49’ - 8° 20’ Lintang Selatan dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter diatas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km²[3]. Kabupaten ini terletak di sebelah barat dari provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 200 km arah barat daya dari ibu kota provinsi Jawa Timur (Surabaya).Kabupaten Ponorogo dikenal dengan sebutan Kota Reog karena daerah ini merupakan daerah asal dari kesenian Reog yang sudah terkenal di seluruh belahan dunia.


Pemerintahan

Pembagian administratif

Kabupaten Ponorogo, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Kota Ponorogo. Kabupaten Ponorogo terdiri atas 21 kecamatan, yang dibagi lagi atas 279 desa dan 26 kelurahan.

Bupati
Berikut nama-nama bupati Ponorogo sejak 1837:
Bupati Ponorogo
Nama Periode
R.A. Mertohadinegoro 1837 - 1854
R.M. Sasrokusuma 1854 - 1856
R.M.T. Cokronegoro I 1856 - 1882
R.M. Cokronegoro II 1882 - 1914
R.T. Sasroprawiro 1914 (7 hari)
R.M. Cokrohadinegoro 1914 – 1916
Pangeran Kusumo Yuda 1916 – 1926
R.T. Saim 1926 – 1934
R. Sutikno 1934 – 1944
R. Susanto Tirtoprojo 1944 – 1945
R. Cokrodiprojo 1945 – 1949
R. Prayitno 1949 – 1951
R. Muhamad Mangundipraja 1951 – 1955
R. Mahmud 1955 – 1958
R.M. Haryogi 1958 – 1960
R. Dasuki Prawirowasito 1960 – 1967
R. Suyoso 1967 – 1968
R. Sudhono Sukirjo 1968 – 1974
H. Sumadi 1974 – 1984
Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo 1984 – 1989
Drs. R. Gatot Soemani 1989 – 1994
DR. H.M. Markum Singodimedjo 1994 – 2004
H. Muryanto, SH, MM 2004 – 2005
H. Muhadi Suyono, SH, MSi 2005 – 2010
H. Amin, SH 2010 - Sekarang



Sejarah

Menurut Babad Ponorogo, berdirinya Kabupaten Ponorogo dimulai setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman (yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.
Dengan persiapan dalam rangka merintis kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala di daerah Ponorogo dan sekitarnya, juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History, sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo dibawah pimpinan Raden Katong , tata pemerintahan menjadi stabil dan pada tahun 1837 Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo hingga sekarang.
Asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Didalam musyawarah tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan Pramana Raga yang akhirnya berubah menjadi Ponorogo.
Pramana Raga terdiri dari dua kata: Pramana yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup, permono, wadi sedangkan Raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan, wadak manusia tersimpan suatu rahasia hidup(wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan menempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada.



Penduduk

Menurut publikasi BPS jumlah penduduk kabupaten Ponorogo pada Sensus penduduk tahun 2010 adalah 855.281

Sejarah Kependudukan
Tahun 1980 1990 2000 2010
Jumlah penduduk 783.356 837.055 841.497 855.281

Agama
Agama yang dianut oleh penduduk kabupaten Ponorogo beragam. Menurut data dari Bappeda Jawa Timur pada tahun 2009, komposisi penganut agama di kabupaten ini adalah sebagai berikut[8]:
Islam 99,42%
Katolik 0.31%
Kristen Protestan 0.16%
Hindu 0.06%
Buddha 0.05%



Obyek wisata

Terdapat beberapa obyek wisata di Kabupaten Ponorogo, di antaranya obyek wisata budaya, obyek wisata industri, obyek wisata alam dan obyek wisata religius.

Obyek Wisata Budaya
Larung Risalah Do'a
Setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro), pemerintah Kabupaten Ponorogo menyelenggarakan Grebeg Suro. Dalam rangkaian perayaan Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo zaman dahulu,saat masih dalam masa Kerajaan Wengker, diarak bersama pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo, dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo Kabupaten. Pada Malam harinya, di alun-alun kota, Festival Reog Nasional memasuki babak final. Esok paginya ada acara Larung Risalah Do'a di Telaga Ngebel, di mana nasi tumpeng dan kepala kerbau dilarung bersama do'a ke tengah-tengah Danau Ngebel.[9] Perayaan Grebeg Suro ini menjadi salah satu jadwal kalender wisata Jawa Timur. Obyek wisata budaya lainnya, yaitu Taman Rekreasi Singo Pitu, Pentas Wayang Kulit dan Reog Bulan Purnama.

Obyek Wisata Industri
Di Kabupaten Ponorogo terdapat beberapa sentra industri, di antaranya Sentra Industri Seng di desa Paju kecamatan Ponorogo, Sentra Industri Jenang di desa Josari kecamatan Jetis dan Sentra Industri Kulit di desa Nambangrejo kecamatan Sukorejo.

Obyek Wisata Alam
Telaga Ngebel
Obyek wisata alam yang yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan secara matang dan terpadu. Selain itu juga terdapat Taman Wisata Ngembag di kecamatan Siman, Mata Air Terjun Sari di desa Tanjung Sari kecamatan Jenangan, Sumber Air Panas di desa Talun kecamatan Ngebel, Sumber Air Asam di desa Gondowido kecamatan Ngebel, Air Terjun Pletuk di desa Jurug kecamatan Sooko, Gunung Bayang Kaki di desa Temon kecamatan Sawoo, Air Terjun Klenteng di desa Tumpuk kecamatan Sawoo, Air Terjun Kokok di desa Sawoo kecamatan Sawoo, Air Terjun Grojogan Coban di desa Tumpak Pelem kecamatan Sawoo, Goa Ngor di desa Tumpuk kecamatan Sawoo, Mata Air Mbeji di desa Bedingin kecamatan Sambit, Sendang Bulus di desa Pager kecamatan Bungkal, Goa Pertapan di desa Munggu kecamatan Bungkal, Gunung Loreng di desa Slahung kecamatan Slahung, Gunung Pringgitan di desa Wates kecamatan Slahung, Taman Sooko Sewu di desa Sukorejo kecamatan Sukorejo, Hutan Wisata Kucur di desa Biting kecamatan Badegan, Goa Lowo di desa Sampung kecamatan Sampung dan Air Terjun Widodaren di desa Bulu Lor kecamatan Jambon.

Obyek Wisata Religius
Masjid Tegalsari
Di Kabupaten Ponorogo terdapat dua jenis obyek wisata religius, yaitu obyek wisata ziarah dan obyek wisata agama. Obyek wisata ziarah di antaranya adalah Makam Bathara Katong di desa Setono kecamatan Jenangan dan Makam Gondoloyo di desa Tanjung sari kecamatan Jenangan. Dan obyek wisata agama di antaranya adalah Mata Air Sendang Waluyo Jati yang merupakan tempat ibadah penganut Katolik, dengan sebuah Patung Maria di desa Klepu kecamatan Sooko dan Masjid Tegalsari yang dibangun abad XVII oleh Kyai Ageng Hasan Besari, berarsitektur Jawa dengan 36 tiang, serta kitab berusia 400 tahun yang ditulis Ronggo Warsito di desa Tegalsari kecamatan Jetis.



Makanan khas


Beraneka jenis makanan khas tersedia di Ponorogo. Sate Ponorogo merupakan salah satu jenis sate yang berasal dari daerah Ponorogo. Sate Ponorogo berbeda dengan Sate Madura. Perbedaannya adalah pada cara memotong dagingnya. Dagingnya tidak dipotong menyerupai dadu seperti sate ayam pada umumnya, melainkan disayat tipis panjang menyerupai fillet, sehingga selain lebih empuk, lemak pada dagingnya pun bisa disisihkan. Perbedaan berikutnya adalah sate Ponorogo melalui proses perendaman bumbu (dibacem) agar bumbu meresap ke dalam daging.
Selain sate, juga terdapat pecel Ponorogo. Perbedaan pecel Ponorogo dengan pecel di daerah lainnya adalah bumbu kacangnya kental dan pedas serta mempunyai unsur rasa yang khas dengan aroma yang kuat. Sayur-sayurannya lengkap, tauge yang dipakai bukan berasal dari kacang hijau tetapi dari kedelai. Biasanya dilengkapi dengan petai cina (lamtoro) dan mentimun yang diiris kecil-kecil. Pecel Ponorogo juga dilengkapi dengan rempeyek atau tempe goreng. Cara penyajiannya pun berbeda dengan pecel di daerah lain. Pecel ini disajikan dengan nasi lalu sayur dan disiram sambal, kemudian diberi sayur dan sambal lagi, lalu lalapan kemudian tempe goreng atau rempeyek.
Terdapat juga minuman khas dari Ponorogo, yaitu dawet Jabung. Dawet jabung mirip dengan es cendol, namun cendol yang dipakai terbuat dari tepung aren dan tanpa bahan pewarna, sehingga warnanya alami. Kuah dawetnya terdiri dari santan kelapa muda yang ditambah dengan gula aren dan sedikit garam. Biasanya ditambahkan tape ketan dan irisan buah nangka. Dawet ini disajikan dalam mangkok kecil dan ditambah dengan es batu. Dinamakan dawet Jabung, karena asal dari dawet ini berasal dari desa Jabung salah satu desa di kecamatan Mlarak kabupaten Ponorogo.[11]
Jajanan khas Ponorogo adalah jenang Mirah. Dinamakan jenang Mirah karena pembuat jenang ini adalah ibu Mirah. Jenang Mirah berasal dari desa Josari. Merupakan makanan khas ponorogo yang dibuat dari beras ketan, gula kelapa dan santan buah kelapa, tanpa bahan pengawet. Jenang Mirah termasuk makanan basah karena hanya tahan satu minggu, kecuali dimasukkan ke dalam lemari es. Jenang Mirah sangat mudah ditemui di toko oleh-oleh khas Ponorogo. Selain jenang Mirah, Juga ada arak keling, yaitu jajanan khas dari desa Coper. Arak keling terbuat dari pati ketela pohon yang dicampur dengan telur lalu dibentuk seperti angka 8 dan digoreng sampai kering lalu diberi gula pasir yang direbus dahulu sampai kental hingga merata.



Pendidikan

Di Kabupaten Ponorogo terdapat beberapa pondok pesantren yang melahirkan tokoh-tokoh nasional, diantaranya Nurcholis Madjid, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin dan Hidayat Nurwahid. Pesantren yang tercatat di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama untuk tahun 2008 berjumlah 58 pesantren.
Selain pesantren, terdapat pula pendidikan formal negeri maupun swasta.

Pondok Pesantren
1. Pondok Modern Darussalam Gontor
2. Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
3. Pondok Pesantren Al-Islam Joresan
4. Pondok Modern Arrisalah Slahung
5. Pondok Pesantren Darul Huda Mayak
6. Pondok Pesantren Al-Iman Sumoroto
7. Pondok Pesantren Darun Najah
8. Pesantren Putri Al-Mawaddah Coper

Perguruan Tinggi
1. Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO)
2. Universitas Merdeka Ponorogo (UMP)
3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo
4. Institut Sunan Giri (INSURI)
5. Institut Studi Islam Darussalam (ISID)
6. Institut Agama Islam Riyadlotul Mujahidin (IAIRM)
7. Akademi Keperawatan (AKPER) Pemkab Ponorogo
8. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo

Sekolah Menengah
SMA
  1. SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo (RSBI)
  2. SMAN 1 Ponorogo (RSBI)
SMK
  1. SMKN 1 Ponorogo (RSBI)
  2. SMKN 1 Jenangan Ponorogo (SBI)
SMP/MTs
  1. SMPN 1 Ponorogo (RSBI)
  2. SMPN 1 Jetis Ponorogo (RSBI)
  3. MTSN Ponorogo (RSBI/RMBI)
Sekolah Dasar
  1. SD Muhammadiyah Ponorogo (RSBI)
  2. SDN Mangkujayan 1 Ponorogo (RSBI)
  3. SDN Brotonegaran 1 Ponorogo (SSN)

Perekonomian

Kabupaten Ponorogo memiliki fasilitas perdagangan yang cukup lengkap, fasilitas tersebut berupa pasar dan pertokoan yang tersebar di seluruh wilayah. Pasar-pasar besar Kabupaten Ponorogo antara lain Pasar Legi Songgolangit di kecamatan Ponorogo, Pasar Wage di kecamatan Jetis dan pasar-pasar lain yang umumnya buka menurut hari dalam penanggalan Jawa.
Selain menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari, keberadaan pasar tersebut juga penting dalam rangka menunjang kegiatan sistem koleksi–distribusi terhadap barang-barang kebutuhan penduduk dan beberapa komoditi pertanian yang dihasilkan oleh Kabupaten Ponorogo. Sedangkan fasilitas perdagangan yang berupa pertokoan banyak berkembang di kabupaten ini terutama toko-toko swalayan.



*****






Proklamasi Kemerdekaan Indonesia





Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.


Latar belakang

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.


Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).


Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.


Peristiwa Rengasdengklok


Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).


Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

5 Makanan yang Identik dengan Kemiskinan di Indonesia

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah 1 dollar AS per hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah 2 dollar AS per hari. Di Indonesia banyak faktor yang menyebabkan sebagian rakyatnya hidup dalam keadaan serba kekuarangan, salah satunya kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan swasta. Sehingga untuk mengisi perut yang keroncong pun dengan makanan seadanya, seperti 5 makanan berikut ini:

1.Nasi aking
Sejenis makanan yang berasal dari sisa-sisa nasi, bekas, tak termakan, lalu dibersihkan dan dikeringkan di terik matahari. Nasi aking biasanya dijual sebagai makanan unggas. Tetapi belakangan masyarakat pun mulai mengonsumsi nasi aking. Nasi aking bukanlah makanan yang layak dikonsumsi manusia; berwarna coklat dan dipenuhi jamur. Namun, masyarakat kelas bawah menjadikannya sebagai makanan pokok pengganti nasi karena tak mampu membeli beras. Untuk menghilangkan bau, nasi aking terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran, dicuci, dijemur, lalu diberi kunyit untuk mengurangi rasa asam akibat jamur yang tertinggal.

2.Tiwul atau Thiwul

Makanan pokok pengganti nasi beras yang dibuat dari ketela pohon atau singkong. Penduduk Pegunungan Kidul (Pacitan, Wonogiri, Gunung Kidul) dikenal mengonsumsi jenis makanan ini sehari-hari. Tiwul dibuat dari gaplek. Sebagai makanan pokok, kandungan kalorinya lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Tiwul dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya. Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang.

3.Gaplek

Makanan yang diolah dari umbi ketela pohon atau singkong. Prosesnya sangat mudah; umbi singkong yang telah dipanen kemudian dikupas dan dikeringkan. Gaplek yang telah kering kemudian bisa ditumbuk sebagai tepung tapioka yang bisa dibuat bermacam-macam kue. Tepung tapioka dari gaplek selanjutnya bisa dibuat menjadi nasi tiwul yang gurih. Nasi tiwul sangat populer di masyarakat yang hidup di Pegunungan Kidul yang memanjang dari Gunung Kidul di Yogyakarta sampai kawasan kabupaten Pacitan.

4.Nasi Jagung

Nasi jagung (Nasek empog) terdiri dari nasi putih yang dicampur dengan biji jagung yang telah dimasak bersama dengan nasi tersebut. Nasi jagung sama dengan nasi putih biasa dimakan dengan lauk-pauk lainnya

5.Angin dan Harapan yang Bias

Poin ini bukanlah makanan seperti empat poin di atas yang dapat dinikmati dan dikecap oleh lidah. Angin adalah ketika mereka orang miskin bahkan tidak mendapatkan dan merasakan makanan yang masuk ke dalam mulut mereka, akibat tidak memiliki pekerjaan dan hidup hanya bermodalkan belas kasihan masyarakat di sekitarnya. Harapan bias adalah ketika mereka dapat makan untuk beberapa bulan ke depan dengan harapan adanya kehidupan lebih baik di kemudian hari, yang diucapkan oleh pejabat-pejabat daerah yang mengunjungi mereka.Namun tidak kunjung terwujudkan, bahkan dalam jangka beberapa kali pemilihan umum.
Quote:

Nusantara Memendam Atlantis?


VIVAnews - Atlantis adalah misteri yang menggoda para ilmuwan, dan kaum spritualis untuk menelisik kembali peradaban maju manusia yang, konon, hilang. Setidaknya, ribuan buku telah ditulis ihwal legenda itu.

Pada mulanya adalah Plato (427-347 SM), filsuf Yunani, mencatat cerita soal benua hilang itu dalam dua karyanya, Timaeus dan Critias. Keduanya adalah karya terakhir Plato, yang ditulis pada 347 SM. Pada tahun sama pula Plato meninggal. Dikisahkan di kedua karya itu, Atlantis adalah kota dengan peradaban tinggi dan teknologi sangat maju.

Atlantis, kata Plato, punya kekuatan maritim dahsyat, dan berada di depan "Pilar-pilar Hercules." Tanahnya subur, rakyatnya makmur. Dia semacam surga di bumi, yang wilayahnya meliputi barat Eropa hingga Afrika. Plato mengatakan, Atlantis hadir sekitar 9.000 tahun sebelum mazhab Solon, atau 9.600 tahun sebelum zaman Plato hidup.

Kejayaan Atlantis, kata Plato, mulai pudar setelah gagal menguasai Athena, negeri para dewa dan dewi. Petaka menimpa Atlantis sehingga pulau itu hilang ditelan laut dalam hitungan hari. Para penghuni yang selamat pergi mencari tempat baru. Atlantis akhirnya menjadi "surga yang hilang."

Memang, banyak orang ragu pada cerita Plato yang mirip dongeng itu. Tapi, seperti dijelaskan Alan Cameron dalam buku "Greek Mythography in the Roman World" terbitan Oxford (2004), mitologi adalah tiang bagi budaya elit bangsa Yunani. Meski banyak yang meragukan kebenarannya, tapi kisah itu bisa jadi refleksi peristiwa tertentu di masa lalu.

Atlantis, misalnya, menjadi diskusi menarik setelah Zaman Pencerahan. Ada bantahan, parodi, hingga penjelasan ilmiah. "Tampaknya hanya di zaman modern orang-orang menganggap serius kisah Atlantis," tulis Cameron.

Ada yang menyebut cerita itu diilhami kisah masa lalu, seperti letusan Gunung Thera atau Perang Troya. Atau simak juga klaim bahwa Plato terilhami sejumlah peristiwa kontemporer di masanya, seperti runtuhnya dinasti Helike pada 373 SM. Atau, gagalnya invasi militer Athena atas Pulau Sisilia pada perang tahun 415-413 SM.

Di awal peradaban moderen, kisah Atlantis itu dihidupkan kembali oleh para penulis aliran humanis di era Renaissance Eropa. Salah satunya Francis Bacon, yang menerbitkan esei berjudul "New Atlantis" pada 1627.

Dalam tulisannya, Bacon melihat Atlantis sebagai suatu masyarakat utopis yang dia sebut Bensalem. Letaknya di pesisir barat benua Amerika. Penulis lain tak mau kalah. Olaus Rudbeck, melalui tulisannya pada 1679, beranggapan Atlantis berada di negara kelahirannya, Swedia. Negara itu disebut Rudbeck sebagai awal lahirnya peradaban, termasuk bahasa.

Ilmuwan kenamaan Inggris, Sir Isaac Newton pun unjuk pendapat. Pada 1728, penemu teori gravitasi itu menerbitkan karya berjudul "The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended." Newton juga penasaran mempelajari penjelasan mitologis terkait Atlantis.

Meski tak menyinggung khusus Atlantis, Newton memaparkan peristiwa bersejarah di sejumlah tempat, yang punya masa gemilang mirip Atlantis versi Plato. Misalnya, kejayaan Abad Yunani Kuno, Kekaisaran Mesir, Asuriah, Babilonia, Kuil Salomo, dan Kerajaan Persia.

Mitologi Atlantis juga membuat rezim Nazi di Jerman terusik. Pada 1938, seorang pejabat tinggi polisi khusus Nazi, Heinrich Himmler, kabarnya membentuk tim ekspedisi ke Tibet. Soalnya, ada cerita Atlantis itu dibangun bangsa Arya, nenek moyang orang-orang Jerman. Misi itu gagal. Keyakinan Nazi itu belakangan diragukan sejumlah ilmuwan.

Jejak di Nusantara

Perburuan, dan spekulasi keberadaan Atlantis terus dicari sepanjang zaman. Sejumlah karya lahir, dan menunjukkan daerah tertentu diduga bagian dari 'Kejayaan yang Tenggelam' itu.

Indonesia juga masuk dalam daftar spekulasi para peneliti dan peminat mitologi Atlantis. Misalnya, Profesor Arysio Santos dari Brazil. Dia geolog dan fisikawan nuklir. Lalu, ada ahli genetika dari Oxford, Inggris, Profesor Stephen Oppenheimer. Keduanya menduga wilayah Indonesia memendam sisa-sisa 'Surga Yang Hilang' itu.

Santos menampilkan peta wilayah Indonesia dalam bukunya yang terbit pada 2005, "Atlantis: The Lost Continent Finally Found." Benua hilang itu kemungkinan berada di sebagian Indonesia dan Laut China Selatan, demikian keyakinan Santos. Dalam karya itu, dia mengklaim telah melakukan riset perbandingan, seperti kondisi wilayah, cuaca, potensi sumber daya alam, gunung berapi, dan pola hidup masyarakat setempat.

Dalam buku itu, dia berhipotesis, wilayah Nusantara dulunya adalah Atlantis. Bagi Santos, indikasi itu antara lain soal luas wilayah. Seperti dikatakan Plato, Atlantis “lebih besar dari gabungan Libya (Afrika Utara) dan Asia (Minor)”. Indonesia, oleh Santos, dianggap cocok dengan karakter geografi itu.

Video wawancara Santos di laman YouTube, menampilkan dia tak ragu bahwa Atlantis benar-benar ada, dan bukan sekedar mitos. Santos menjelaskan mengapa selama ini para ilmuwan gagal menemukan Atlantis, dan ragu akan keberadaan kota yang hilang itu. "Karena mereka mencarinya di tempat yang salah. Mereka mencarinya di Laut Atlantis," kata dia dalam wawancara di YouTube, seperti dimuat laman Hubpages.

Anggapan Atlantis berada di Samudera Atlantis, memang logis. Namun, itu bukan lokasi yang tepat. "Atlantis berada di Lautan Hindia [Indonesia], di belahan lain bumi," kata dia. Di belahan bumi timur itulah, peradaban bermula. Namun, kata dia, Samudera Hindia atau Laut China Selatan sebagai lokasi Atlantis hanya batasan. "Lebih pastinya di Indonesia," lanjut Santos.

Sebelum zaman es berakhir 30.000 sampai 11.000 tahun lalu, di Indonesia terdapat daratan besar. Saat itu permukaan laut 150 meter lebih rendah dari yang ada saat ini. Di lokasi itulah tempat adanya peradaban. Sementara, sisa bumi dari Asia Utara, Eropa, dan Amerika Utara masih diselimuti es.

Pulau-pulau yang tersebar di Indonesia dianggap sebagai puncak gunung, dan dataran tinggi dari suatu benua yang tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, dan amblesnya dataran rendah di akhir Masa Es Pleistocene. Itu terjadi sekitar 11.600 tahun lampau. "Itu adalah rentang waktu sama dengan dipaparkan Plato dalam dialog ciptaannya saat menyinggung Atlantis," tulis Santos pada bagian pendahuluan di bukunya.

Berbeda dengan keyakinan para peneliti sebelum atau pada generasi Santos, dia pun optimistis bahwa Indonesia, yang disebut sebagai bekas peninggalan Atlantis, menjadi cikal bakal lahirnya sejumlah peradaban kuno.

Para penghuni wilayah yang selamat dari naiknya permukaan air laut dan letusan gunung berapi akhirnya berpencar mencari tempat-tempat. Mereka "pindah ke wilayah-wilayah yang kini disebut India, Asia Tenggara, China, Polynesia, Amerika, dan Timur Dekat," tulis Santos.

Penjelasan serupa juga dikemukakan penulis asal Inggris, Stephen Oppenheimer, dalam buku "Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia" (1998). Dia menulis suatu benua yang tenggelam akibat banjir bandang, dan naiknya permukaan air laut sekitar 7.000 hingga 14.000 tahun yang lampau.

Wilayah yang tenggelam itu berada di wilayah yang kini disebut sebagai Asia Tenggara. Oppenheimer menyebut benua tenggelam itu sebagai Sundaland. Para penghuni yang selamat saat itu lalu menyebar ke berbagai tempat hingga ke Eropa, membawa budaya dan pola hidup mereka. Itu sebabnya Oppenheimer berasumsi asal-usul ras Euroasia di Eropa bisa ditelusuri di Asia.

Oppenheimer pun yakin bahwa para penghuni Sundaland saat itu punya peradaban maju dari wilayah-wilayah lain. "Mereka sudah mengembangkan pola menyambung hidup, dari sekadar berburu binatang menjadi bertani, berkebun, mencari ikan, bahkan perdagangan melintas laut. Semua itu sudah dilakukan sebelum 5.000 tahun yang lampau," demikian penggalan asumsi dari Oppenheimer.

Sejarah selama ini mencatat induk peradaban manusia modern berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut Sundaland, atau Indonesia.

Apa buktinya? "Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia," kata Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya di Jakarta, Oktober 2010. Tentu, pendapat ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Universitas Oxford itu, memberi paradigma berbeda dari yang ada selama ini bahwa peradaban paling awal berasal dari Barat.

Berbeda dengan Santos, Oppenheimer tak langsung menyimpulkan Sundaland adalah Atlantis. Dia sendiri mengakui butuh penelitian lebih lanjut, dan berharap ada kerjasama dengan peneliti di Indonesia, untuk menjelaskan Sundaland adalah Surga yang Tenggelam itu. Tapi, Oppenheimer meyakini Sundaland di wilayah Nusantara itu punya peradaban sangat maju di masanya.

Ilmu semu?

Pendapat Santos dan Oppenheimer mengenai jejak Atlantis dan Indonesia sebagai bekas pusat peradaban itu di satu sisi mengundang pesona. Tapi tak semua pihak percaya atas klaim itu. Menariknya, justru ilmuwan Indonesia sendiri mengkritik pandangan dua pengamat asing itu.

Profesor Riset Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, meragukan cerita Atlantis itu. Bagi Djamaluddin, kisah Atlantis itu hanya sekadar cerita, dengan nilai ilmiah yang minim.
Dengan kata lain, penjelasan Atlantis yang dilontarkan para peneliti selama ini masuk dalam pseudosains, atau ilmu semu. "Ini bukan ilmiah. Ini pseudosains. Antara cerita dengan fakta ilmiah itu bercampur di sana," kata ilmuwan Indonesia, Thomas Djamaluddin, dalam perbincangan dengan VIVAnews beberapa waktu lalu.

Tapi kata Djamaluddin, Atlantis tak lebih dari sekadar cerita karangan Plato yang melegenda. "Kalau itu dijadikan fakta ilmiah sejarah geologi, Plato itu hanya berdasarkan pemahaman dia. Plato tak menyebutkan data," jelas Djamaluddin.

Peneliti lulusan lulusan Kyoto University, Jepang, itu juga menilai sejarah geologi tak memperlihatkan Indonesia adalah Atlantis. "Tulisan sejenis Santos ini sudah beredar lama. Itu hanya dugaan saja," ujarnya.
Bantahan lain, misalnya datang dari geolog senior dari BP Migas, Awang Satyana. Dalam satu acara bedah buku Santos, sekitar dua tahun silam, Awang mengatakan Santos tak mengajukan bukti dan argumentasi geologi.
Sundaland, kata Awang, adalah paparan benua stabil yang tenggelam 15.000 – 11.000 tahun lalu oleh proses deglasiasi akibat siklus perubahan iklim. “Bukan oleh erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam jangka panjang,” ujar Awang.
Bahkan soal migrasi manusia Sundaland ke sekujur bumi, kata Awang, berlawanan dengan bukti penelitian migrasi manusia modern secara biomolekuler.
Pakar geologi dari Universitas Padjajaran, Oki Oktariadi, mengingatkan dugaan lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia. Ada banyak wilayah seperti Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, dan lain-lain.

"Hasil penelitian terbaru oleh Kimura's (2007) menemukan beberapa monumen batu di bawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria," demikian paparan Oktariadi dalam makalahnya yang berjudul "Benarkah Sundaland itu Atlantis yang Hilang?"

Walau kebenarannya masih diragukan, bagi Oktariadi, penelitian itu punya nilai positif bagi Indonesia. Setidaknya, negeri ini lebih dikenal di dunia internasional, khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang. "Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini,” tulis Oktariadi. (np)
• VIVAnews
Sumber : http://sorot.vivanews.com/news/read/206602-atlantis--dongeng-yang-logis

Berburu Piramida Nusantara



VIVAnews - Mentari nyaris berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri jalan kecil mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung. Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter (alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng, masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, kepada VIVAnews, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
***
Agung adalah Pendiri Yayasan Turangga Seta, organisasi yang punya hajat penelitian di gunung itu. Bak tokoh fiksi Indiana Jones, awak Turangga Seta memang punya kegemaran memburu jejak sejarah. Bukan atas hasrat memiliki, tapi mengungkap kegemilangan sejarah nenek moyang di masa lalu.
Komunitas itu berdiri sekitar 2004, digawangi oleh sekelompok profesional di berbagai bidang. Ada pengajar, kontraktor bangunan, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan swasta, juga mahasiswa. Beberapa di antara mereka punya kepekaan lebih terhadap kehadiran gaib, atau istilah keren mereka: parallel existence.
“Kami ini semua anak-anak MIT. Bukan Masachussetts Institute of Technology, tapi Menyan Institute of Technology,” kata anggota Turangga Seta Hery Trikoyo, bergurau. Sebab, dalam melakukan perburuan terhadap situs sejarah, kadang mereka mendapat sokongan informasi lokasi dari ‘informan tak kasatmata’.
Namun, karena dasarnya mereka adalah anak-anak yang mengenyam pendidikan tinggi, dorongan mereka membuktikan informasi tersebut, mengalir deras. Tak jarang para ‘arkeolog partikelir’ ini keluar malam-malam usai jam kerja, untuk menggali sebuah tempat demi membuktikan kebenaran hipotesa mereka.
Setelah mereka menemukan benda sejarah yang mereka maksud, lalu mereka menimbunnya kembali, tanpa diketahui oleh masyarakat umum. “Kami khawatir bila diketahui banyak orang, malah diambil atau dicuri,” kata Agung.
Kali ini, kedatangan mereka ke Gunung Lalakon dalam rangka membuktikan teori mereka, bahwa ada sejumlah piramid di Indonesia. Salah satu informasi awal didapatkan dari tafsiran mereka terhadap relief Candi Penataran.
Turangga Seta percaya bahwa kebudayaan Nusantara lebih tua daripada Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau Maya. Mereka haqul yakin Indonesia memiliki situs candi atau piramida yang lebih banyak dan lebih megah dari peradaban Mesir dan Maya.
“Ada ratusan piramida di Indonesia, dan tingginya tak kalah dari piramida Giza di Mesir yang cuma 140-an meter,” kata Agung. Meski masih harus diuji secara ilmiah, pandangan Agung senada dengan teori Profesor Arysio Santos, yang menyebutkan Indonesia adalah peradaban Atlantis yang hilang. (Baca juga: Nusantara Memendam Atlantis?)
Keyakinan ini tentu saja membuat banyak orang mengernyitkan dahi. Turangga Seta sempat mem-post keyakinan mereka ihwal keberadaan piramida di Indonesia di sebuah forum online. lengkap dengan foto-fotonya. Hasilnya, mereka menuai cemoohan dan tertawaan. “Nanti, kalau semuanya terbukti, mereka tak bisa lagi tertawa,” kata Agung berapi-api.
***
Agung mungkin sedang sesumbar. Tapi, bisa juga tidak. Usai pengujian geolistrik di Gunung Lalakon, para peneliti yang datang bersama Agung cs. terbengong-bengong. Mereka bukan sembarang peneliti. Mereka adalah peneliti papan atas. Beberapa adalah pakar geolog ternama, yang kredibilitasnya tak diragukan. Tapi karena datang atas nama pribadi, kehadiran mereka di sana tak mau diungkap.
Setidaknya, kekaguman mereka sempat diabadikan dalam sebuah rekaman video milik tim Turangga Seta yang disaksikan VIVAnews. “Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah - red),” kata pakar geologi yang wajahnya sering terlihat di berbagai stasiun TV itu.
Lazimnya, sebuah lapisan tanah atau lapisan batuan akan menyebar merata secara menyamping atau horisontal. Tapi hasil uji geolistrik menyatakan terdapat semacam struktur bangunan yang memiliki bentuk seperti piramida, dan di atasnya terdapat lapisan batuan tufa dan breksi dengan pola selang-seling secara bergantian.
Pola batuan tufa dan breksi ini berulang secara melintang bukan mendatar, dengan kemiringan sama. “Seolah-olah piramida ini diuruk dan dibronjong secara sengaja, agar tak longsor,” kata Hery, yang berprofesi sebagai konsultan kontraktor bangunan.
Dalam lanjutan rekaman video berikutnya, pakar geologi tadi menunjuk sebuah bentukan berwarna biru. Dalam hasil uji geolistrik, warna biru menandakan sebuah tempat yang punya resistivitas paling rendah. “Ini mungkin semacam rongga yang bisa berisi air atau tanah lempung,” pakar geologi itu menerangkan. Bentukan tadi menyerupai semacam pintu.
Yang jelas, pakar geologi itu melanjutkan, kemungkinan besar temuan itu adalah struktur buatan manusia, karena proses alamiah sepertinya tak mungkin menghasilkan pola batuan semacam itu. “Ini jelas man-made,” kata dia.
VIVAnews sempat mengkonfirmasi salah satu pakar geologi yang turut dalam penelitian ke Gunung Lalakon bersama tim Turangga Seta. Awalnya ia menampik, dan mengatakan tak tahu-menahu keberadaan struktur bangunan mirip piramida di bawah Gunung Lalakon. Tapi belakangan secara tersirat ia mengakui hal itu.
“Saya no comment,” kata geolog kawakan Andang Bachtiar kepada VIVAnews, Rabu, 23 Februari 2011. Lebih jauh, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) itu mengatakan hasil analisis itu masih belum bisa menyimpulkan apa-apa. Masih banyak hal yang perlu dibuktikan, kata Andang.
Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke Gunung Lalakon di Bandung, juga ia mendampingi tim Turangga Seta menguji bukit serupa di daerah Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji seismik di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di Garut, mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi adanya sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.
Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo. Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.
***
Turangga Seta mengklaim masih ada ratusan piramida lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu pentolan Turangga Seta lainnya, Timmy Hartadi, dalam laman Facebook mereka mengatakan bahwa piramida-piramida itu tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. (Lihat Infografik)
Klaim penemuan sebuah piramida tersembunyi di dalam bukit, tak hanya terjadi di Indonesia. Klaim ini juga sempat muncul di Bosnia. Pada 2006, seorang pengarang bernama Semir Osmanagic mengklaim penemuan ini, dan sempat mengatakan mereka menemukan piramida tersembunyi di bukit Visocica, kota Visoko, yang terletak di barat laut Sarajevo.
Osmanagic mengatakan penggalian piramida itu melibatkan arkeolog dari Australia, Austria, Irlandia, Skotlandia dan Slovenia. Namun, beberapa arkeolog yang disebut Osmanagic menolak klaim tersebut.
Seperti dikutip dari situs Archaeology.org, arkeolog dari Kanada yang disebut Osmanagic, Chris Mundigler mengaku tak pernah mendukung atau setuju bekerja di proyek tersebut. "Skema ini adalah sebuah kebohongan keji terhadap masyarakat awam, dan tak akan pernah mendapat tempat di dunia ilmu pengetahuan," kata pernyataan resmi dari Asosiasi Arkeolog Eropa.
Bagaimana dengan klaim piramid di Bandung dan di Garut?
Secara geomorfologis, bentuk Gunung Lalakon di Bandung maupun Gunung Sadahurip di Garut memang memiliki bentuk yang mirip dengan piramida. Mereka memiliki empat sisi yang nyaris simetris.

“Bentuknya kok begitu simetris ya? Lancipnya sangat simetris,” ujar arkeolog senior Profesor Edi Sedyawati, saat dijumpai VIVAnews di kediamannya di Jakarta, Rabu, 23 Februari 2011.
Namun, kata Edi, klaim dan hasil uji geolistrik masih belum cukup untuk mendapatkan kesimpulan akhir. Langkah selanjutnya adalah penggalian percobaan pengambilan sampel dengan memuat sebuah test bed untuk mengetahui apa benar ada indikasi lapisan-lapisan budaya dan ada bekas-bekas perbuatan manusia atau tidak.
“Tapi ini harus betul-betul penggalian arkeologi yang meminta izin kantor suaka purbakala dan melibatkan arkeolog, karena harus ada pertanggung jawaban dan laporan, dari mili ke mili (milimeter, red)," kata Edi Sedyawati.
Turangga Seta pun tengah mengusahakan izin pengambilan sampel tanah di Gunung Lalakon kepada Pemda Jawa Barat. “Kami hanya perlu menggali tanah di lokasi, selebar sekitar 3-4 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter,” kata Agung.
***
Gunung Lalakon dikelilingi beberapa bukit lain seperti bukit Paseban, Pancir, Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit Paseban ada tiga buah batu, yang dua di antaranya terdapat telapak kaki manusia dewasa, dan telapak kaki anak-anak.
Menurut Edi, bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah, kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah dijumpai di tempat lain, seperti prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi.
Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama atau tiga langkah yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya bila seseorang hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak dengan keras agar dapat melompat tinggi sekali.
Sementara itu, di Gunung Lalakon juga terdapat beberapa situs batuan, seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu Warung, Batu Pupuk, Batu Renges, Batu gajah, dan sebuah batu panjang yang terletak di atas puncak.
Menurut Abah Acu, tokoh masyarakat Kampung Badaraksa, secara filosofis, Gunung Lalakon adalah perlambang sebuah lakon dari kehidupan manusia. Batu-batu tadi merepresentasikan berbagai lakon atau profesi yang dipilih oleh manusia.
Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap disalahgunakan. Banyak orang datang ke tempat batu di Gunung Lalakon mencari pesugihan. Bahkan, menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat itu, dulu banyak orang datang ke Batu Gajah mencari ilham judi buntut. “Banyak pula yang berhasil menang,” kata Jujun.
Jujun menerangkan, di Gunung Lalakon secara rutin juga digelar acara ritual tolak bala, yakni dengan membuat nasi tumpeng kemudian dibagikan dan dimakan oleh penduduk. “Acara ini diadakan setiap tahun, biasanya setiap tanggal 1 Syuro.”
Berbeda dengan tradisi di Gunung Lalakon, masyarakat di sekitar Gunung Sadahurip relatif lebih ‘modern’. Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar Pasir, kampung terdekat Gunung Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak bala. Masyarakat sekitar juga tak terlalu peduli dengan mitos gunung itu di masa lalu.
***
Pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, mengatakan di Tatar Sunda yang meliputi Jawa Barat, Banten, DKI, dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, terutama dataran tinggi seperti Banten Selatan, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Kuningan, dan Bogor, banyak ditemukan peninggalan budaya megalitikum. Tinggalan-tinggalan itu di antaranya berupa batu menhir, bangunan berundak, batu lumpang, peti kubur batu, batu dakon, dan arca megalitik.
Namun, Nina menjelaskan, sejarah di Tatar Sunda tak mengenal bangunan piramida karena tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci. “Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina melalui surat elektronik kepada VIVAnews.
Bila pada masa prasejarah tempat suci itu dikenal sebagai punden berundak-undak, tempat pemujaan leluhur, maka ketika budaya Hindu Budha (yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda), tempat suci itu terus dipergunakan.
Hanya saja menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam tokoh yang dianggap keramat.
Saat diberitahu di bukit-piramida Bandung maupun Garut ada makam yang dikeramatkan, serta adanya keluarga keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di kawasan Priangan Timur, yang hidup dua abad setelah Kerajaan Sunda runtuh, Nina berusaha membuat konklusi dan analisa.
“Saya menduga bahwa bukit berbentuk piramida ini, adalah mandala (daerah pertapaan berupa dusun mandiri yang terletak di tempat terpencil), yang sudah tercampur dengan budaya yang datang kemudian (yaitu Hindu-Budha-Islam),” ujar Nina.
Namun untuk mengungkap apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik bukit berbentuk piramid itu, kata Nina, para geolog harus bekerjasama dengan para arkeolog untuk melakukan ekskavasi (penyingkapan).
***
Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai pula ke Istana Presiden. Seorang pejabat di lingkaran presiden, kepada VIVAnews mengaku telah dilaporkan ihwal riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta tak disebutkan namanya, menimbang riset yang belum rampung.
“Ya, saya sudah lihat analisis geolistrik dan georadar-nya. Saya menyaksikannya dalam bentuk tiga dimensi. Menakjubkan, dan masih misterius. Tim riset itu dipimpin oleh para geolog terpercaya,” ujar si pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.
Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog, ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.
Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.
Dia menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi itu, kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan mereka. “Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap, pasti akan dibuka ke masyarakat”.
Mungkin inilah masa penantian yang cukup menegangkan. Adakah bukit piramida ini sekadar dongeng ala piramida Bosnia yang berulang, atau memang suatu pengungkapan gemilang tentang adanya suatu peradaban besar di Nusantara yang belum pernah terungkap? (np)
• VIVAnews

Gunung Wilis akan Meletus


Beberapa hari terakhir, diawal bulan Februari tahun 2011 masyarakat di sekitar gunung Wilis mendengar suara gemuruh dari lerengnya. Gunung ini menjadi perbatasan antara kabupaten Madiun, Nganjuk dan Ponorogo.
Suara gemuruh akan semakin jelas terdengar terutama pada malam hari diatas pukul 12 malam karena suasana memang sudah sepi. Semula masyarakat disekitar gunung terutama yang berada di kecamatan Pulung, dan Ngebel yang masuk wilyah Ponorogo mengira suara itu berasal dari perut gunung Wilis, tetapi setelah berlangsung beberapa hari ternyata suara itu pusatnya agak ke arah selatan yang berbatasan dengan gunung Bayangkaki.
Perlu diketahui bahwa gungung Wilis sepanjang catatan sejarah kabupaten Madiun dan Ponorogo belum pernah meletus, alias sudah tidak aktif lagi. Walaupun pada jaman dulu dipastikan pernah aktip terbukti dari bentuknya yang kerucut nyaris sempurna. Mungkin gunung ini seusia dengan gunung Lawu yang terletak kurang lebih 75 Km di sebelah baratnya, yang menjadi perbatasan antara kabupaten Madiun dan Surakarta.
Suara gemuruh terdengar hingga sejauh 30 Km kearah barat, di sekitar kota Ponorogo sampai dengan kecamatan Jetis, bahkan sering pada malam hari suara gemuruh akan disertai dengan getaran pintu dan jendela. Masyarakat juga merasa was - was mengingat bencana gunung meletus akhir-akhir ini sedang menjadi trendi di tanah air.
Satu hal yang mengherankan disekitar gunung Wilis dan lerengnya sama sekali tidak ditemukan adanya kawah yang mengeluarkan asap, seperti layaknya gunung berapi lain menjelang meletus, misalnya gunung Merapi atau Bromo. Namun hanya terdengar suara 'gludhag - gludhug' dari dalam bumi. Itupun sulit dipastikan dimana pusat suara itu berasal. Petugas BMG konon kabarnya juga sudah pernah mengadakan penelitian di wilayah ini namun hingga saat ini belum ada pengumuman resmi tentang status gunung yang bersangkutan.
Mudah mudahan gunung ini tidak akan meletus, cukuplah mengeluarkan suara gemuruh saja, bahkan beberapa orang ternyata juga enjoi saja dengan kejadian ini. Ada suasana lain katanya.

Musuh yang Pandai itu lebih Baik, daripada Teman yang Bodoh.

Kabupaten Ponorogo

0





Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini terletak pada koordinat 111° 17’ - 111° 52’ Bujur Timur dan 7° 49’ - 8° 20’ Lintang Selatan dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter diatas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km²[3]. Kabupaten ini terletak di sebelah barat dari provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 200 km arah barat daya dari ibu kota provinsi Jawa Timur (Surabaya).Kabupaten Ponorogo dikenal dengan sebutan Kota Reog karena daerah ini merupakan daerah asal dari kesenian Reog yang sudah terkenal di seluruh belahan dunia.



Pemerintahan

Pembagian administratif

Kabupaten Ponorogo, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Kota Ponorogo. Kabupaten Ponorogo terdiri atas 21 kecamatan, yang dibagi lagi atas 279 desa dan 26 kelurahan.

Bupati
Berikut nama-nama bupati Ponorogo sejak 1837:
Bupati Ponorogo
Nama Periode
R.A. Mertohadinegoro 1837 - 1854
R.M. Sasrokusuma 1854 - 1856
R.M.T. Cokronegoro I 1856 - 1882
R.M. Cokronegoro II 1882 - 1914
R.T. Sasroprawiro 1914 (7 hari)
R.M. Cokrohadinegoro 1914 – 1916
Pangeran Kusumo Yuda 1916 – 1926
R.T. Saim 1926 – 1934
R. Sutikno 1934 – 1944
R. Susanto Tirtoprojo 1944 – 1945
R. Cokrodiprojo 1945 – 1949
R. Prayitno 1949 – 1951
R. Muhamad Mangundipraja 1951 – 1955
R. Mahmud 1955 – 1958
R.M. Haryogi 1958 – 1960
R. Dasuki Prawirowasito 1960 – 1967
R. Suyoso 1967 – 1968
R. Sudhono Sukirjo 1968 – 1974
H. Sumadi 1974 – 1984
Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo 1984 – 1989
Drs. R. Gatot Soemani 1989 – 1994
DR. H.M. Markum Singodimedjo 1994 – 2004
H. Muryanto, SH, MM 2004 – 2005
H. Muhadi Suyono, SH, MSi 2005 – 2010
H. Amin, SH 2010 - Sekarang



Sejarah

Menurut Babad Ponorogo, berdirinya Kabupaten Ponorogo dimulai setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman (yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.
Dengan persiapan dalam rangka merintis kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala di daerah Ponorogo dan sekitarnya, juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History, sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo dibawah pimpinan Raden Katong , tata pemerintahan menjadi stabil dan pada tahun 1837 Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo hingga sekarang.
Asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Didalam musyawarah tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan Pramana Raga yang akhirnya berubah menjadi Ponorogo.
Pramana Raga terdiri dari dua kata: Pramana yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup, permono, wadi sedangkan Raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan, wadak manusia tersimpan suatu rahasia hidup(wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan menempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada.



Penduduk

Menurut publikasi BPS jumlah penduduk kabupaten Ponorogo pada Sensus penduduk tahun 2010 adalah 855.281

Sejarah Kependudukan
Tahun 1980 1990 2000 2010
Jumlah penduduk 783.356 837.055 841.497 855.281

Agama
Agama yang dianut oleh penduduk kabupaten Ponorogo beragam. Menurut data dari Bappeda Jawa Timur pada tahun 2009, komposisi penganut agama di kabupaten ini adalah sebagai berikut[8]:
Islam 99,42%
Katolik 0.31%
Kristen Protestan 0.16%
Hindu 0.06%
Buddha 0.05%



Obyek wisata

Terdapat beberapa obyek wisata di Kabupaten Ponorogo, di antaranya obyek wisata budaya, obyek wisata industri, obyek wisata alam dan obyek wisata religius.

Obyek Wisata Budaya
Larung Risalah Do'a
Setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro), pemerintah Kabupaten Ponorogo menyelenggarakan Grebeg Suro. Dalam rangkaian perayaan Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo zaman dahulu,saat masih dalam masa Kerajaan Wengker, diarak bersama pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo, dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo Kabupaten. Pada Malam harinya, di alun-alun kota, Festival Reog Nasional memasuki babak final. Esok paginya ada acara Larung Risalah Do'a di Telaga Ngebel, di mana nasi tumpeng dan kepala kerbau dilarung bersama do'a ke tengah-tengah Danau Ngebel.[9] Perayaan Grebeg Suro ini menjadi salah satu jadwal kalender wisata Jawa Timur. Obyek wisata budaya lainnya, yaitu Taman Rekreasi Singo Pitu, Pentas Wayang Kulit dan Reog Bulan Purnama.

Obyek Wisata Industri
Di Kabupaten Ponorogo terdapat beberapa sentra industri, di antaranya Sentra Industri Seng di desa Paju kecamatan Ponorogo, Sentra Industri Jenang di desa Josari kecamatan Jetis dan Sentra Industri Kulit di desa Nambangrejo kecamatan Sukorejo.

Obyek Wisata Alam
Telaga Ngebel
Obyek wisata alam yang yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan secara matang dan terpadu. Selain itu juga terdapat Taman Wisata Ngembag di kecamatan Siman, Mata Air Terjun Sari di desa Tanjung Sari kecamatan Jenangan, Sumber Air Panas di desa Talun kecamatan Ngebel, Sumber Air Asam di desa Gondowido kecamatan Ngebel, Air Terjun Pletuk di desa Jurug kecamatan Sooko, Gunung Bayang Kaki di desa Temon kecamatan Sawoo, Air Terjun Klenteng di desa Tumpuk kecamatan Sawoo, Air Terjun Kokok di desa Sawoo kecamatan Sawoo, Air Terjun Grojogan Coban di desa Tumpak Pelem kecamatan Sawoo, Goa Ngor di desa Tumpuk kecamatan Sawoo, Mata Air Mbeji di desa Bedingin kecamatan Sambit, Sendang Bulus di desa Pager kecamatan Bungkal, Goa Pertapan di desa Munggu kecamatan Bungkal, Gunung Loreng di desa Slahung kecamatan Slahung, Gunung Pringgitan di desa Wates kecamatan Slahung, Taman Sooko Sewu di desa Sukorejo kecamatan Sukorejo, Hutan Wisata Kucur di desa Biting kecamatan Badegan, Goa Lowo di desa Sampung kecamatan Sampung dan Air Terjun Widodaren di desa Bulu Lor kecamatan Jambon.

Obyek Wisata Religius
Masjid Tegalsari
Di Kabupaten Ponorogo terdapat dua jenis obyek wisata religius, yaitu obyek wisata ziarah dan obyek wisata agama. Obyek wisata ziarah di antaranya adalah Makam Bathara Katong di desa Setono kecamatan Jenangan dan Makam Gondoloyo di desa Tanjung sari kecamatan Jenangan. Dan obyek wisata agama di antaranya adalah Mata Air Sendang Waluyo Jati yang merupakan tempat ibadah penganut Katolik, dengan sebuah Patung Maria di desa Klepu kecamatan Sooko dan Masjid Tegalsari yang dibangun abad XVII oleh Kyai Ageng Hasan Besari, berarsitektur Jawa dengan 36 tiang, serta kitab berusia 400 tahun yang ditulis Ronggo Warsito di desa Tegalsari kecamatan Jetis.



Makanan khas


Beraneka jenis makanan khas tersedia di Ponorogo. Sate Ponorogo merupakan salah satu jenis sate yang berasal dari daerah Ponorogo. Sate Ponorogo berbeda dengan Sate Madura. Perbedaannya adalah pada cara memotong dagingnya. Dagingnya tidak dipotong menyerupai dadu seperti sate ayam pada umumnya, melainkan disayat tipis panjang menyerupai fillet, sehingga selain lebih empuk, lemak pada dagingnya pun bisa disisihkan. Perbedaan berikutnya adalah sate Ponorogo melalui proses perendaman bumbu (dibacem) agar bumbu meresap ke dalam daging.
Selain sate, juga terdapat pecel Ponorogo. Perbedaan pecel Ponorogo dengan pecel di daerah lainnya adalah bumbu kacangnya kental dan pedas serta mempunyai unsur rasa yang khas dengan aroma yang kuat. Sayur-sayurannya lengkap, tauge yang dipakai bukan berasal dari kacang hijau tetapi dari kedelai. Biasanya dilengkapi dengan petai cina (lamtoro) dan mentimun yang diiris kecil-kecil. Pecel Ponorogo juga dilengkapi dengan rempeyek atau tempe goreng. Cara penyajiannya pun berbeda dengan pecel di daerah lain. Pecel ini disajikan dengan nasi lalu sayur dan disiram sambal, kemudian diberi sayur dan sambal lagi, lalu lalapan kemudian tempe goreng atau rempeyek.
Terdapat juga minuman khas dari Ponorogo, yaitu dawet Jabung. Dawet jabung mirip dengan es cendol, namun cendol yang dipakai terbuat dari tepung aren dan tanpa bahan pewarna, sehingga warnanya alami. Kuah dawetnya terdiri dari santan kelapa muda yang ditambah dengan gula aren dan sedikit garam. Biasanya ditambahkan tape ketan dan irisan buah nangka. Dawet ini disajikan dalam mangkok kecil dan ditambah dengan es batu. Dinamakan dawet Jabung, karena asal dari dawet ini berasal dari desa Jabung salah satu desa di kecamatan Mlarak kabupaten Ponorogo.[11]
Jajanan khas Ponorogo adalah jenang Mirah. Dinamakan jenang Mirah karena pembuat jenang ini adalah ibu Mirah. Jenang Mirah berasal dari desa Josari. Merupakan makanan khas ponorogo yang dibuat dari beras ketan, gula kelapa dan santan buah kelapa, tanpa bahan pengawet. Jenang Mirah termasuk makanan basah karena hanya tahan satu minggu, kecuali dimasukkan ke dalam lemari es. Jenang Mirah sangat mudah ditemui di toko oleh-oleh khas Ponorogo. Selain jenang Mirah, Juga ada arak keling, yaitu jajanan khas dari desa Coper. Arak keling terbuat dari pati ketela pohon yang dicampur dengan telur lalu dibentuk seperti angka 8 dan digoreng sampai kering lalu diberi gula pasir yang direbus dahulu sampai kental hingga merata.



Pendidikan

Di Kabupaten Ponorogo terdapat beberapa pondok pesantren yang melahirkan tokoh-tokoh nasional, diantaranya Nurcholis Madjid, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin dan Hidayat Nurwahid. Pesantren yang tercatat di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama untuk tahun 2008 berjumlah 58 pesantren.
Selain pesantren, terdapat pula pendidikan formal negeri maupun swasta.

Pondok Pesantren
1. Pondok Modern Darussalam Gontor
2. Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
3. Pondok Pesantren Al-Islam Joresan
4. Pondok Modern Arrisalah Slahung
5. Pondok Pesantren Darul Huda Mayak
6. Pondok Pesantren Al-Iman Sumoroto
7. Pondok Pesantren Darun Najah
8. Pesantren Putri Al-Mawaddah Coper

Perguruan Tinggi
1. Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO)
2. Universitas Merdeka Ponorogo (UMP)
3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo
4. Institut Sunan Giri (INSURI)
5. Institut Studi Islam Darussalam (ISID)
6. Institut Agama Islam Riyadlotul Mujahidin (IAIRM)
7. Akademi Keperawatan (AKPER) Pemkab Ponorogo
8. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo

Sekolah Menengah
SMA
  1. SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo (RSBI)
  2. SMAN 1 Ponorogo (RSBI)
SMK
  1. SMKN 1 Ponorogo (RSBI)
  2. SMKN 1 Jenangan Ponorogo (SBI)
SMP/MTs
  1. SMPN 1 Ponorogo (RSBI)
  2. SMPN 1 Jetis Ponorogo (RSBI)
  3. MTSN Ponorogo (RSBI/RMBI)
Sekolah Dasar
  1. SD Muhammadiyah Ponorogo (RSBI)
  2. SDN Mangkujayan 1 Ponorogo (RSBI)
  3. SDN Brotonegaran 1 Ponorogo (SSN)

Perekonomian

Kabupaten Ponorogo memiliki fasilitas perdagangan yang cukup lengkap, fasilitas tersebut berupa pasar dan pertokoan yang tersebar di seluruh wilayah. Pasar-pasar besar Kabupaten Ponorogo antara lain Pasar Legi Songgolangit di kecamatan Ponorogo, Pasar Wage di kecamatan Jetis dan pasar-pasar lain yang umumnya buka menurut hari dalam penanggalan Jawa.
Selain menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari, keberadaan pasar tersebut juga penting dalam rangka menunjang kegiatan sistem koleksi–distribusi terhadap barang-barang kebutuhan penduduk dan beberapa komoditi pertanian yang dihasilkan oleh Kabupaten Ponorogo. Sedangkan fasilitas perdagangan yang berupa pertokoan banyak berkembang di kabupaten ini terutama toko-toko swalayan.



*****






Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

0





Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.


Latar belakang

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.


Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).


Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.


Peristiwa Rengasdengklok


Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).


Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

5 Makanan yang Identik dengan Kemiskinan di Indonesia

0

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah 1 dollar AS per hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah 2 dollar AS per hari. Di Indonesia banyak faktor yang menyebabkan sebagian rakyatnya hidup dalam keadaan serba kekuarangan, salah satunya kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan swasta. Sehingga untuk mengisi perut yang keroncong pun dengan makanan seadanya, seperti 5 makanan berikut ini:

1.Nasi aking
Sejenis makanan yang berasal dari sisa-sisa nasi, bekas, tak termakan, lalu dibersihkan dan dikeringkan di terik matahari. Nasi aking biasanya dijual sebagai makanan unggas. Tetapi belakangan masyarakat pun mulai mengonsumsi nasi aking. Nasi aking bukanlah makanan yang layak dikonsumsi manusia; berwarna coklat dan dipenuhi jamur. Namun, masyarakat kelas bawah menjadikannya sebagai makanan pokok pengganti nasi karena tak mampu membeli beras. Untuk menghilangkan bau, nasi aking terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran, dicuci, dijemur, lalu diberi kunyit untuk mengurangi rasa asam akibat jamur yang tertinggal.

2.Tiwul atau Thiwul

Makanan pokok pengganti nasi beras yang dibuat dari ketela pohon atau singkong. Penduduk Pegunungan Kidul (Pacitan, Wonogiri, Gunung Kidul) dikenal mengonsumsi jenis makanan ini sehari-hari. Tiwul dibuat dari gaplek. Sebagai makanan pokok, kandungan kalorinya lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Tiwul dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya. Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang.

3.Gaplek

Makanan yang diolah dari umbi ketela pohon atau singkong. Prosesnya sangat mudah; umbi singkong yang telah dipanen kemudian dikupas dan dikeringkan. Gaplek yang telah kering kemudian bisa ditumbuk sebagai tepung tapioka yang bisa dibuat bermacam-macam kue. Tepung tapioka dari gaplek selanjutnya bisa dibuat menjadi nasi tiwul yang gurih. Nasi tiwul sangat populer di masyarakat yang hidup di Pegunungan Kidul yang memanjang dari Gunung Kidul di Yogyakarta sampai kawasan kabupaten Pacitan.

4.Nasi Jagung

Nasi jagung (Nasek empog) terdiri dari nasi putih yang dicampur dengan biji jagung yang telah dimasak bersama dengan nasi tersebut. Nasi jagung sama dengan nasi putih biasa dimakan dengan lauk-pauk lainnya

5.Angin dan Harapan yang Bias

Poin ini bukanlah makanan seperti empat poin di atas yang dapat dinikmati dan dikecap oleh lidah. Angin adalah ketika mereka orang miskin bahkan tidak mendapatkan dan merasakan makanan yang masuk ke dalam mulut mereka, akibat tidak memiliki pekerjaan dan hidup hanya bermodalkan belas kasihan masyarakat di sekitarnya. Harapan bias adalah ketika mereka dapat makan untuk beberapa bulan ke depan dengan harapan adanya kehidupan lebih baik di kemudian hari, yang diucapkan oleh pejabat-pejabat daerah yang mengunjungi mereka.Namun tidak kunjung terwujudkan, bahkan dalam jangka beberapa kali pemilihan umum.
Quote:

Nusantara Memendam Atlantis?

0


VIVAnews - Atlantis adalah misteri yang menggoda para ilmuwan, dan kaum spritualis untuk menelisik kembali peradaban maju manusia yang, konon, hilang. Setidaknya, ribuan buku telah ditulis ihwal legenda itu.

Pada mulanya adalah Plato (427-347 SM), filsuf Yunani, mencatat cerita soal benua hilang itu dalam dua karyanya, Timaeus dan Critias. Keduanya adalah karya terakhir Plato, yang ditulis pada 347 SM. Pada tahun sama pula Plato meninggal. Dikisahkan di kedua karya itu, Atlantis adalah kota dengan peradaban tinggi dan teknologi sangat maju.

Atlantis, kata Plato, punya kekuatan maritim dahsyat, dan berada di depan "Pilar-pilar Hercules." Tanahnya subur, rakyatnya makmur. Dia semacam surga di bumi, yang wilayahnya meliputi barat Eropa hingga Afrika. Plato mengatakan, Atlantis hadir sekitar 9.000 tahun sebelum mazhab Solon, atau 9.600 tahun sebelum zaman Plato hidup.

Kejayaan Atlantis, kata Plato, mulai pudar setelah gagal menguasai Athena, negeri para dewa dan dewi. Petaka menimpa Atlantis sehingga pulau itu hilang ditelan laut dalam hitungan hari. Para penghuni yang selamat pergi mencari tempat baru. Atlantis akhirnya menjadi "surga yang hilang."

Memang, banyak orang ragu pada cerita Plato yang mirip dongeng itu. Tapi, seperti dijelaskan Alan Cameron dalam buku "Greek Mythography in the Roman World" terbitan Oxford (2004), mitologi adalah tiang bagi budaya elit bangsa Yunani. Meski banyak yang meragukan kebenarannya, tapi kisah itu bisa jadi refleksi peristiwa tertentu di masa lalu.

Atlantis, misalnya, menjadi diskusi menarik setelah Zaman Pencerahan. Ada bantahan, parodi, hingga penjelasan ilmiah. "Tampaknya hanya di zaman modern orang-orang menganggap serius kisah Atlantis," tulis Cameron.

Ada yang menyebut cerita itu diilhami kisah masa lalu, seperti letusan Gunung Thera atau Perang Troya. Atau simak juga klaim bahwa Plato terilhami sejumlah peristiwa kontemporer di masanya, seperti runtuhnya dinasti Helike pada 373 SM. Atau, gagalnya invasi militer Athena atas Pulau Sisilia pada perang tahun 415-413 SM.

Di awal peradaban moderen, kisah Atlantis itu dihidupkan kembali oleh para penulis aliran humanis di era Renaissance Eropa. Salah satunya Francis Bacon, yang menerbitkan esei berjudul "New Atlantis" pada 1627.

Dalam tulisannya, Bacon melihat Atlantis sebagai suatu masyarakat utopis yang dia sebut Bensalem. Letaknya di pesisir barat benua Amerika. Penulis lain tak mau kalah. Olaus Rudbeck, melalui tulisannya pada 1679, beranggapan Atlantis berada di negara kelahirannya, Swedia. Negara itu disebut Rudbeck sebagai awal lahirnya peradaban, termasuk bahasa.

Ilmuwan kenamaan Inggris, Sir Isaac Newton pun unjuk pendapat. Pada 1728, penemu teori gravitasi itu menerbitkan karya berjudul "The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended." Newton juga penasaran mempelajari penjelasan mitologis terkait Atlantis.

Meski tak menyinggung khusus Atlantis, Newton memaparkan peristiwa bersejarah di sejumlah tempat, yang punya masa gemilang mirip Atlantis versi Plato. Misalnya, kejayaan Abad Yunani Kuno, Kekaisaran Mesir, Asuriah, Babilonia, Kuil Salomo, dan Kerajaan Persia.

Mitologi Atlantis juga membuat rezim Nazi di Jerman terusik. Pada 1938, seorang pejabat tinggi polisi khusus Nazi, Heinrich Himmler, kabarnya membentuk tim ekspedisi ke Tibet. Soalnya, ada cerita Atlantis itu dibangun bangsa Arya, nenek moyang orang-orang Jerman. Misi itu gagal. Keyakinan Nazi itu belakangan diragukan sejumlah ilmuwan.

Jejak di Nusantara

Perburuan, dan spekulasi keberadaan Atlantis terus dicari sepanjang zaman. Sejumlah karya lahir, dan menunjukkan daerah tertentu diduga bagian dari 'Kejayaan yang Tenggelam' itu.

Indonesia juga masuk dalam daftar spekulasi para peneliti dan peminat mitologi Atlantis. Misalnya, Profesor Arysio Santos dari Brazil. Dia geolog dan fisikawan nuklir. Lalu, ada ahli genetika dari Oxford, Inggris, Profesor Stephen Oppenheimer. Keduanya menduga wilayah Indonesia memendam sisa-sisa 'Surga Yang Hilang' itu.

Santos menampilkan peta wilayah Indonesia dalam bukunya yang terbit pada 2005, "Atlantis: The Lost Continent Finally Found." Benua hilang itu kemungkinan berada di sebagian Indonesia dan Laut China Selatan, demikian keyakinan Santos. Dalam karya itu, dia mengklaim telah melakukan riset perbandingan, seperti kondisi wilayah, cuaca, potensi sumber daya alam, gunung berapi, dan pola hidup masyarakat setempat.

Dalam buku itu, dia berhipotesis, wilayah Nusantara dulunya adalah Atlantis. Bagi Santos, indikasi itu antara lain soal luas wilayah. Seperti dikatakan Plato, Atlantis “lebih besar dari gabungan Libya (Afrika Utara) dan Asia (Minor)”. Indonesia, oleh Santos, dianggap cocok dengan karakter geografi itu.

Video wawancara Santos di laman YouTube, menampilkan dia tak ragu bahwa Atlantis benar-benar ada, dan bukan sekedar mitos. Santos menjelaskan mengapa selama ini para ilmuwan gagal menemukan Atlantis, dan ragu akan keberadaan kota yang hilang itu. "Karena mereka mencarinya di tempat yang salah. Mereka mencarinya di Laut Atlantis," kata dia dalam wawancara di YouTube, seperti dimuat laman Hubpages.

Anggapan Atlantis berada di Samudera Atlantis, memang logis. Namun, itu bukan lokasi yang tepat. "Atlantis berada di Lautan Hindia [Indonesia], di belahan lain bumi," kata dia. Di belahan bumi timur itulah, peradaban bermula. Namun, kata dia, Samudera Hindia atau Laut China Selatan sebagai lokasi Atlantis hanya batasan. "Lebih pastinya di Indonesia," lanjut Santos.

Sebelum zaman es berakhir 30.000 sampai 11.000 tahun lalu, di Indonesia terdapat daratan besar. Saat itu permukaan laut 150 meter lebih rendah dari yang ada saat ini. Di lokasi itulah tempat adanya peradaban. Sementara, sisa bumi dari Asia Utara, Eropa, dan Amerika Utara masih diselimuti es.

Pulau-pulau yang tersebar di Indonesia dianggap sebagai puncak gunung, dan dataran tinggi dari suatu benua yang tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, dan amblesnya dataran rendah di akhir Masa Es Pleistocene. Itu terjadi sekitar 11.600 tahun lampau. "Itu adalah rentang waktu sama dengan dipaparkan Plato dalam dialog ciptaannya saat menyinggung Atlantis," tulis Santos pada bagian pendahuluan di bukunya.

Berbeda dengan keyakinan para peneliti sebelum atau pada generasi Santos, dia pun optimistis bahwa Indonesia, yang disebut sebagai bekas peninggalan Atlantis, menjadi cikal bakal lahirnya sejumlah peradaban kuno.

Para penghuni wilayah yang selamat dari naiknya permukaan air laut dan letusan gunung berapi akhirnya berpencar mencari tempat-tempat. Mereka "pindah ke wilayah-wilayah yang kini disebut India, Asia Tenggara, China, Polynesia, Amerika, dan Timur Dekat," tulis Santos.

Penjelasan serupa juga dikemukakan penulis asal Inggris, Stephen Oppenheimer, dalam buku "Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia" (1998). Dia menulis suatu benua yang tenggelam akibat banjir bandang, dan naiknya permukaan air laut sekitar 7.000 hingga 14.000 tahun yang lampau.

Wilayah yang tenggelam itu berada di wilayah yang kini disebut sebagai Asia Tenggara. Oppenheimer menyebut benua tenggelam itu sebagai Sundaland. Para penghuni yang selamat saat itu lalu menyebar ke berbagai tempat hingga ke Eropa, membawa budaya dan pola hidup mereka. Itu sebabnya Oppenheimer berasumsi asal-usul ras Euroasia di Eropa bisa ditelusuri di Asia.

Oppenheimer pun yakin bahwa para penghuni Sundaland saat itu punya peradaban maju dari wilayah-wilayah lain. "Mereka sudah mengembangkan pola menyambung hidup, dari sekadar berburu binatang menjadi bertani, berkebun, mencari ikan, bahkan perdagangan melintas laut. Semua itu sudah dilakukan sebelum 5.000 tahun yang lampau," demikian penggalan asumsi dari Oppenheimer.

Sejarah selama ini mencatat induk peradaban manusia modern berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut Sundaland, atau Indonesia.

Apa buktinya? "Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia," kata Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya di Jakarta, Oktober 2010. Tentu, pendapat ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Universitas Oxford itu, memberi paradigma berbeda dari yang ada selama ini bahwa peradaban paling awal berasal dari Barat.

Berbeda dengan Santos, Oppenheimer tak langsung menyimpulkan Sundaland adalah Atlantis. Dia sendiri mengakui butuh penelitian lebih lanjut, dan berharap ada kerjasama dengan peneliti di Indonesia, untuk menjelaskan Sundaland adalah Surga yang Tenggelam itu. Tapi, Oppenheimer meyakini Sundaland di wilayah Nusantara itu punya peradaban sangat maju di masanya.

Ilmu semu?

Pendapat Santos dan Oppenheimer mengenai jejak Atlantis dan Indonesia sebagai bekas pusat peradaban itu di satu sisi mengundang pesona. Tapi tak semua pihak percaya atas klaim itu. Menariknya, justru ilmuwan Indonesia sendiri mengkritik pandangan dua pengamat asing itu.

Profesor Riset Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, meragukan cerita Atlantis itu. Bagi Djamaluddin, kisah Atlantis itu hanya sekadar cerita, dengan nilai ilmiah yang minim.
Dengan kata lain, penjelasan Atlantis yang dilontarkan para peneliti selama ini masuk dalam pseudosains, atau ilmu semu. "Ini bukan ilmiah. Ini pseudosains. Antara cerita dengan fakta ilmiah itu bercampur di sana," kata ilmuwan Indonesia, Thomas Djamaluddin, dalam perbincangan dengan VIVAnews beberapa waktu lalu.

Tapi kata Djamaluddin, Atlantis tak lebih dari sekadar cerita karangan Plato yang melegenda. "Kalau itu dijadikan fakta ilmiah sejarah geologi, Plato itu hanya berdasarkan pemahaman dia. Plato tak menyebutkan data," jelas Djamaluddin.

Peneliti lulusan lulusan Kyoto University, Jepang, itu juga menilai sejarah geologi tak memperlihatkan Indonesia adalah Atlantis. "Tulisan sejenis Santos ini sudah beredar lama. Itu hanya dugaan saja," ujarnya.
Bantahan lain, misalnya datang dari geolog senior dari BP Migas, Awang Satyana. Dalam satu acara bedah buku Santos, sekitar dua tahun silam, Awang mengatakan Santos tak mengajukan bukti dan argumentasi geologi.
Sundaland, kata Awang, adalah paparan benua stabil yang tenggelam 15.000 – 11.000 tahun lalu oleh proses deglasiasi akibat siklus perubahan iklim. “Bukan oleh erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam jangka panjang,” ujar Awang.
Bahkan soal migrasi manusia Sundaland ke sekujur bumi, kata Awang, berlawanan dengan bukti penelitian migrasi manusia modern secara biomolekuler.
Pakar geologi dari Universitas Padjajaran, Oki Oktariadi, mengingatkan dugaan lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia. Ada banyak wilayah seperti Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, dan lain-lain.

"Hasil penelitian terbaru oleh Kimura's (2007) menemukan beberapa monumen batu di bawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria," demikian paparan Oktariadi dalam makalahnya yang berjudul "Benarkah Sundaland itu Atlantis yang Hilang?"

Walau kebenarannya masih diragukan, bagi Oktariadi, penelitian itu punya nilai positif bagi Indonesia. Setidaknya, negeri ini lebih dikenal di dunia internasional, khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang. "Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini,” tulis Oktariadi. (np)
• VIVAnews
Sumber : http://sorot.vivanews.com/news/read/206602-atlantis--dongeng-yang-logis

Berburu Piramida Nusantara

0



VIVAnews - Mentari nyaris berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri jalan kecil mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung. Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter (alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng, masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, kepada VIVAnews, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
***
Agung adalah Pendiri Yayasan Turangga Seta, organisasi yang punya hajat penelitian di gunung itu. Bak tokoh fiksi Indiana Jones, awak Turangga Seta memang punya kegemaran memburu jejak sejarah. Bukan atas hasrat memiliki, tapi mengungkap kegemilangan sejarah nenek moyang di masa lalu.
Komunitas itu berdiri sekitar 2004, digawangi oleh sekelompok profesional di berbagai bidang. Ada pengajar, kontraktor bangunan, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan swasta, juga mahasiswa. Beberapa di antara mereka punya kepekaan lebih terhadap kehadiran gaib, atau istilah keren mereka: parallel existence.
“Kami ini semua anak-anak MIT. Bukan Masachussetts Institute of Technology, tapi Menyan Institute of Technology,” kata anggota Turangga Seta Hery Trikoyo, bergurau. Sebab, dalam melakukan perburuan terhadap situs sejarah, kadang mereka mendapat sokongan informasi lokasi dari ‘informan tak kasatmata’.
Namun, karena dasarnya mereka adalah anak-anak yang mengenyam pendidikan tinggi, dorongan mereka membuktikan informasi tersebut, mengalir deras. Tak jarang para ‘arkeolog partikelir’ ini keluar malam-malam usai jam kerja, untuk menggali sebuah tempat demi membuktikan kebenaran hipotesa mereka.
Setelah mereka menemukan benda sejarah yang mereka maksud, lalu mereka menimbunnya kembali, tanpa diketahui oleh masyarakat umum. “Kami khawatir bila diketahui banyak orang, malah diambil atau dicuri,” kata Agung.
Kali ini, kedatangan mereka ke Gunung Lalakon dalam rangka membuktikan teori mereka, bahwa ada sejumlah piramid di Indonesia. Salah satu informasi awal didapatkan dari tafsiran mereka terhadap relief Candi Penataran.
Turangga Seta percaya bahwa kebudayaan Nusantara lebih tua daripada Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau Maya. Mereka haqul yakin Indonesia memiliki situs candi atau piramida yang lebih banyak dan lebih megah dari peradaban Mesir dan Maya.
“Ada ratusan piramida di Indonesia, dan tingginya tak kalah dari piramida Giza di Mesir yang cuma 140-an meter,” kata Agung. Meski masih harus diuji secara ilmiah, pandangan Agung senada dengan teori Profesor Arysio Santos, yang menyebutkan Indonesia adalah peradaban Atlantis yang hilang. (Baca juga: Nusantara Memendam Atlantis?)
Keyakinan ini tentu saja membuat banyak orang mengernyitkan dahi. Turangga Seta sempat mem-post keyakinan mereka ihwal keberadaan piramida di Indonesia di sebuah forum online. lengkap dengan foto-fotonya. Hasilnya, mereka menuai cemoohan dan tertawaan. “Nanti, kalau semuanya terbukti, mereka tak bisa lagi tertawa,” kata Agung berapi-api.
***
Agung mungkin sedang sesumbar. Tapi, bisa juga tidak. Usai pengujian geolistrik di Gunung Lalakon, para peneliti yang datang bersama Agung cs. terbengong-bengong. Mereka bukan sembarang peneliti. Mereka adalah peneliti papan atas. Beberapa adalah pakar geolog ternama, yang kredibilitasnya tak diragukan. Tapi karena datang atas nama pribadi, kehadiran mereka di sana tak mau diungkap.
Setidaknya, kekaguman mereka sempat diabadikan dalam sebuah rekaman video milik tim Turangga Seta yang disaksikan VIVAnews. “Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah - red),” kata pakar geologi yang wajahnya sering terlihat di berbagai stasiun TV itu.
Lazimnya, sebuah lapisan tanah atau lapisan batuan akan menyebar merata secara menyamping atau horisontal. Tapi hasil uji geolistrik menyatakan terdapat semacam struktur bangunan yang memiliki bentuk seperti piramida, dan di atasnya terdapat lapisan batuan tufa dan breksi dengan pola selang-seling secara bergantian.
Pola batuan tufa dan breksi ini berulang secara melintang bukan mendatar, dengan kemiringan sama. “Seolah-olah piramida ini diuruk dan dibronjong secara sengaja, agar tak longsor,” kata Hery, yang berprofesi sebagai konsultan kontraktor bangunan.
Dalam lanjutan rekaman video berikutnya, pakar geologi tadi menunjuk sebuah bentukan berwarna biru. Dalam hasil uji geolistrik, warna biru menandakan sebuah tempat yang punya resistivitas paling rendah. “Ini mungkin semacam rongga yang bisa berisi air atau tanah lempung,” pakar geologi itu menerangkan. Bentukan tadi menyerupai semacam pintu.
Yang jelas, pakar geologi itu melanjutkan, kemungkinan besar temuan itu adalah struktur buatan manusia, karena proses alamiah sepertinya tak mungkin menghasilkan pola batuan semacam itu. “Ini jelas man-made,” kata dia.
VIVAnews sempat mengkonfirmasi salah satu pakar geologi yang turut dalam penelitian ke Gunung Lalakon bersama tim Turangga Seta. Awalnya ia menampik, dan mengatakan tak tahu-menahu keberadaan struktur bangunan mirip piramida di bawah Gunung Lalakon. Tapi belakangan secara tersirat ia mengakui hal itu.
“Saya no comment,” kata geolog kawakan Andang Bachtiar kepada VIVAnews, Rabu, 23 Februari 2011. Lebih jauh, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) itu mengatakan hasil analisis itu masih belum bisa menyimpulkan apa-apa. Masih banyak hal yang perlu dibuktikan, kata Andang.
Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke Gunung Lalakon di Bandung, juga ia mendampingi tim Turangga Seta menguji bukit serupa di daerah Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji seismik di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di Garut, mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi adanya sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.
Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo. Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.
***
Turangga Seta mengklaim masih ada ratusan piramida lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu pentolan Turangga Seta lainnya, Timmy Hartadi, dalam laman Facebook mereka mengatakan bahwa piramida-piramida itu tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. (Lihat Infografik)
Klaim penemuan sebuah piramida tersembunyi di dalam bukit, tak hanya terjadi di Indonesia. Klaim ini juga sempat muncul di Bosnia. Pada 2006, seorang pengarang bernama Semir Osmanagic mengklaim penemuan ini, dan sempat mengatakan mereka menemukan piramida tersembunyi di bukit Visocica, kota Visoko, yang terletak di barat laut Sarajevo.
Osmanagic mengatakan penggalian piramida itu melibatkan arkeolog dari Australia, Austria, Irlandia, Skotlandia dan Slovenia. Namun, beberapa arkeolog yang disebut Osmanagic menolak klaim tersebut.
Seperti dikutip dari situs Archaeology.org, arkeolog dari Kanada yang disebut Osmanagic, Chris Mundigler mengaku tak pernah mendukung atau setuju bekerja di proyek tersebut. "Skema ini adalah sebuah kebohongan keji terhadap masyarakat awam, dan tak akan pernah mendapat tempat di dunia ilmu pengetahuan," kata pernyataan resmi dari Asosiasi Arkeolog Eropa.
Bagaimana dengan klaim piramid di Bandung dan di Garut?
Secara geomorfologis, bentuk Gunung Lalakon di Bandung maupun Gunung Sadahurip di Garut memang memiliki bentuk yang mirip dengan piramida. Mereka memiliki empat sisi yang nyaris simetris.

“Bentuknya kok begitu simetris ya? Lancipnya sangat simetris,” ujar arkeolog senior Profesor Edi Sedyawati, saat dijumpai VIVAnews di kediamannya di Jakarta, Rabu, 23 Februari 2011.
Namun, kata Edi, klaim dan hasil uji geolistrik masih belum cukup untuk mendapatkan kesimpulan akhir. Langkah selanjutnya adalah penggalian percobaan pengambilan sampel dengan memuat sebuah test bed untuk mengetahui apa benar ada indikasi lapisan-lapisan budaya dan ada bekas-bekas perbuatan manusia atau tidak.
“Tapi ini harus betul-betul penggalian arkeologi yang meminta izin kantor suaka purbakala dan melibatkan arkeolog, karena harus ada pertanggung jawaban dan laporan, dari mili ke mili (milimeter, red)," kata Edi Sedyawati.
Turangga Seta pun tengah mengusahakan izin pengambilan sampel tanah di Gunung Lalakon kepada Pemda Jawa Barat. “Kami hanya perlu menggali tanah di lokasi, selebar sekitar 3-4 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter,” kata Agung.
***
Gunung Lalakon dikelilingi beberapa bukit lain seperti bukit Paseban, Pancir, Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit Paseban ada tiga buah batu, yang dua di antaranya terdapat telapak kaki manusia dewasa, dan telapak kaki anak-anak.
Menurut Edi, bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah, kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah dijumpai di tempat lain, seperti prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi.
Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama atau tiga langkah yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya bila seseorang hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak dengan keras agar dapat melompat tinggi sekali.
Sementara itu, di Gunung Lalakon juga terdapat beberapa situs batuan, seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu Warung, Batu Pupuk, Batu Renges, Batu gajah, dan sebuah batu panjang yang terletak di atas puncak.
Menurut Abah Acu, tokoh masyarakat Kampung Badaraksa, secara filosofis, Gunung Lalakon adalah perlambang sebuah lakon dari kehidupan manusia. Batu-batu tadi merepresentasikan berbagai lakon atau profesi yang dipilih oleh manusia.
Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap disalahgunakan. Banyak orang datang ke tempat batu di Gunung Lalakon mencari pesugihan. Bahkan, menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat itu, dulu banyak orang datang ke Batu Gajah mencari ilham judi buntut. “Banyak pula yang berhasil menang,” kata Jujun.
Jujun menerangkan, di Gunung Lalakon secara rutin juga digelar acara ritual tolak bala, yakni dengan membuat nasi tumpeng kemudian dibagikan dan dimakan oleh penduduk. “Acara ini diadakan setiap tahun, biasanya setiap tanggal 1 Syuro.”
Berbeda dengan tradisi di Gunung Lalakon, masyarakat di sekitar Gunung Sadahurip relatif lebih ‘modern’. Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar Pasir, kampung terdekat Gunung Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak bala. Masyarakat sekitar juga tak terlalu peduli dengan mitos gunung itu di masa lalu.
***
Pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, mengatakan di Tatar Sunda yang meliputi Jawa Barat, Banten, DKI, dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, terutama dataran tinggi seperti Banten Selatan, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Kuningan, dan Bogor, banyak ditemukan peninggalan budaya megalitikum. Tinggalan-tinggalan itu di antaranya berupa batu menhir, bangunan berundak, batu lumpang, peti kubur batu, batu dakon, dan arca megalitik.
Namun, Nina menjelaskan, sejarah di Tatar Sunda tak mengenal bangunan piramida karena tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci. “Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina melalui surat elektronik kepada VIVAnews.
Bila pada masa prasejarah tempat suci itu dikenal sebagai punden berundak-undak, tempat pemujaan leluhur, maka ketika budaya Hindu Budha (yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda), tempat suci itu terus dipergunakan.
Hanya saja menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam tokoh yang dianggap keramat.
Saat diberitahu di bukit-piramida Bandung maupun Garut ada makam yang dikeramatkan, serta adanya keluarga keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di kawasan Priangan Timur, yang hidup dua abad setelah Kerajaan Sunda runtuh, Nina berusaha membuat konklusi dan analisa.
“Saya menduga bahwa bukit berbentuk piramida ini, adalah mandala (daerah pertapaan berupa dusun mandiri yang terletak di tempat terpencil), yang sudah tercampur dengan budaya yang datang kemudian (yaitu Hindu-Budha-Islam),” ujar Nina.
Namun untuk mengungkap apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik bukit berbentuk piramid itu, kata Nina, para geolog harus bekerjasama dengan para arkeolog untuk melakukan ekskavasi (penyingkapan).
***
Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai pula ke Istana Presiden. Seorang pejabat di lingkaran presiden, kepada VIVAnews mengaku telah dilaporkan ihwal riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta tak disebutkan namanya, menimbang riset yang belum rampung.
“Ya, saya sudah lihat analisis geolistrik dan georadar-nya. Saya menyaksikannya dalam bentuk tiga dimensi. Menakjubkan, dan masih misterius. Tim riset itu dipimpin oleh para geolog terpercaya,” ujar si pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.
Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog, ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.
Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.
Dia menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi itu, kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan mereka. “Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap, pasti akan dibuka ke masyarakat”.
Mungkin inilah masa penantian yang cukup menegangkan. Adakah bukit piramida ini sekadar dongeng ala piramida Bosnia yang berulang, atau memang suatu pengungkapan gemilang tentang adanya suatu peradaban besar di Nusantara yang belum pernah terungkap? (np)
• VIVAnews

Gunung Wilis akan Meletus

0


Beberapa hari terakhir, diawal bulan Februari tahun 2011 masyarakat di sekitar gunung Wilis mendengar suara gemuruh dari lerengnya. Gunung ini menjadi perbatasan antara kabupaten Madiun, Nganjuk dan Ponorogo.
Suara gemuruh akan semakin jelas terdengar terutama pada malam hari diatas pukul 12 malam karena suasana memang sudah sepi. Semula masyarakat disekitar gunung terutama yang berada di kecamatan Pulung, dan Ngebel yang masuk wilyah Ponorogo mengira suara itu berasal dari perut gunung Wilis, tetapi setelah berlangsung beberapa hari ternyata suara itu pusatnya agak ke arah selatan yang berbatasan dengan gunung Bayangkaki.
Perlu diketahui bahwa gungung Wilis sepanjang catatan sejarah kabupaten Madiun dan Ponorogo belum pernah meletus, alias sudah tidak aktif lagi. Walaupun pada jaman dulu dipastikan pernah aktip terbukti dari bentuknya yang kerucut nyaris sempurna. Mungkin gunung ini seusia dengan gunung Lawu yang terletak kurang lebih 75 Km di sebelah baratnya, yang menjadi perbatasan antara kabupaten Madiun dan Surakarta.
Suara gemuruh terdengar hingga sejauh 30 Km kearah barat, di sekitar kota Ponorogo sampai dengan kecamatan Jetis, bahkan sering pada malam hari suara gemuruh akan disertai dengan getaran pintu dan jendela. Masyarakat juga merasa was - was mengingat bencana gunung meletus akhir-akhir ini sedang menjadi trendi di tanah air.
Satu hal yang mengherankan disekitar gunung Wilis dan lerengnya sama sekali tidak ditemukan adanya kawah yang mengeluarkan asap, seperti layaknya gunung berapi lain menjelang meletus, misalnya gunung Merapi atau Bromo. Namun hanya terdengar suara 'gludhag - gludhug' dari dalam bumi. Itupun sulit dipastikan dimana pusat suara itu berasal. Petugas BMG konon kabarnya juga sudah pernah mengadakan penelitian di wilayah ini namun hingga saat ini belum ada pengumuman resmi tentang status gunung yang bersangkutan.
Mudah mudahan gunung ini tidak akan meletus, cukuplah mengeluarkan suara gemuruh saja, bahkan beberapa orang ternyata juga enjoi saja dengan kejadian ini. Ada suasana lain katanya.